Bersama peyakin sejati, ada kejernihan dari visi dan cita-cita yang hendak dicapai; ada keyakinan dari hati, dan ada kekuatan dari misi yang menjadi beban di pundak; serta ada kesabaran dari setiap perjalanan yang menjadi langkah kemenangan yang siap ditorehkan dalam tinta emas sejarah peradaban”
Bagi seorang pendaki, menaklukkan terjal dan tebing yang bebatuan merupakan sebuah tantangan bagi dirinya. Meski ia tidak tahu bagaimana dan seperti apa kondisi yang akan ditemuinya kelak ketika sudah berada di puncak pendakian. Mata zhohirnya mungkin tak mampu melihat secara jelas gambaran puncak gunung yang mungkin terselimuti awan kabut nan tebal. Tapi ia sudah punya keyakinan, bahwa ia akan menaklukan dan berdiri kokoh di puncak gunung yang ada dihadapannya. Dan itulah visi yang ia bangun. Dan dengan kejernihan visinya, ia akan mampu merekontruksikan seperti apa alur perjalanan yang akan ia lewati dan bagaimana ia mampu melukiskan di alam bawah sadar imajinasinya tentang keindahan yang akan ia temui ketika sudah berada di puncak.
Firman AlloH SWT dalam hadits qudsi “Sesungguhnya Aku bersama (berada di sisi) persangkaan hambaKu pada diriku” yang riwayatkan Ibnu Majah ini merupakan hadits yang menarik kita telaah untuk menumbuhkan gairah dan semangat kita dalam mencapai visi kita. Karena bisa jadi ketidak-tercapaian visi dan misi kita dalam hal apapun itu disebabkan karena kegagalan kita dalam membangun persangkaan yang positif dan objektif dalam pribadi kita. Dari awal kita sudah lemah dalam ‘azzam (tekad) dan komitmen karena terlalu banyak persangkaan yang kurang positif sehingga menimbulkan seribu satu dalih/alasan yang membuat kita gagal mencapai visi yang sudah sempat dibangun. Memang benar bahwa dalam proses dan perjalanan kita mencapai visi tersebut tidaklah bersifat linear. Bisa jadi “time-series” dalam masa-masa pencapainan visi akan sangat dinamis dan fluktuatif. Nilai ekspektasi yang kita harapkan untuk kita raih sering kali jauh meleset dari harapan baik karena bias yang terlalu besar ataupun error-error kecil yang menjauhkan kita dari parameter (alat ukur) yang sesungguhnya. Tapi dalam dunia statistik, hal ini wajar dan lumrah saja karena dalam pengukuran nilai ekspektasi (harapan) sendiri sudah lazim dan terbiasa dengan adanya bias ataupun error. Tinggal bagaimana kita belajar menentukan parameter (alat ukur) yang tepat dan disesuaikan dengan metodologi yang memungkinkan pula disertai dengan tingkat kepercayaan yang kita miliki.
Dari sejarah kita bisa belajar dari para ilmuwan dan pahlawan bagaimana visi yang mereka miliki mampu membuat mereka berupaya optimal dan tak pernah lelah dalam setiap langkah ikhtiarnya. Kisah heroik Nabi Musa, kecerdasan Christopher Columbus, dan kegigihan Thomas Alpha Edison memberikan banyak pembelajaran bagi kita.
Ketika kita berbicara tentang perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi Fir’aun sang penguasa yang zholim, maka kita akan belajar mengenai bagaimana ketepatan alat ukur yang digunakan oleh Nabi Musa dan para pengikutnya dalam mendefinisikan tentang kekuatan dan pertolongan AlloH. Mereka mampu menerjemahkan kekuatan yang hakiki adalah kekuatan yang dimiliki oleh AlloH bukan oleh makhluq. Sehingga dengan izin dan pertolongan AlloH, maka segala kekuatan yang dimiliki oleh Fir’aun dan para penyihirnya dapat dengan mudah dikalahkan. Alat ukur mereka hanya satu, bahwa AlloH senantiasa membersamai bagi hamba-Nya yang tetap teguh dalam menegakkan panji dan kalimat AlloH (Li-ilaa-i kalimaatillaH).
Dari kecerdasan Christopher Columbus pada pertemuannya dengan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dalam sebuah jamuan yang juga dihadiri oleh para pembesar, kita belajar tentang metodologi/cara yang brilian. Dalam menegakkan telur berdiri di atas meja, ia terlebih dahulu memecahkan sebagian cangkangnya guna menopang telur tersebut untuk berdiri mengajarkan kita akan sebuah metodologi/cara yang sederhana tapi cerdas dalam menaklukkan tantangan yang mungkin bagi banyak orang adalah sesuatu hal yang mustahil. Dan ia melakukan hal yang sederhana tersebut disaat orang lain tidak sampai ke sana cara/pola berpikirnya. Jadi, metodologi yang cerdas dan brilian bukan diukur dari seberapa sulit ia dipahami atau dilaksanakan tapi sejauh mana ia mampu efektif dan efisien dalam mendekatkan kepada pencapaian visi kita walaupun sederhana serta bagaimana kita memulainya disaat orang awam mengatakan bahwa visi yang akan kita capai adalah sebuah kemustahilan.
Sedangkan dari Thomas Alpha Edison, kita belajar tentang kegigihan yang luar biasa dengan disertai tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberhasilan dalam risetnya. Butuh 9955 (atau ada yang mengatakan 9998) kali kegagalan untuk kemudian akhirnya mengantarnya menjadi orang yang sukses dalam menemukan bohlam lampu yang menjadi alat penerangan di rumah-rumah. Andai saja tidak ada visi yang membersamainya, mungkin ia akan menyerah ketika kegagalan percobaan sudah menembus angka ratusan. Ia yakin bahwa keberhasilannya bukan dalam perkara bisa atau tidak tapi dalam hal kegigihan atau enggan untuk bersabar. Keberhasilan baginya hanya soal waktu saja. Dengan tingkat kepercayaannya yang tinggi ia mampu mewujudkan apa yang menjadi visi/cita-citanya.
Visi yang besar dan mulia akan melahirkan orang-orang yang besar (agung) pula. Tentu hal ini diperuntukkan bagi mereka yang tetap teguh dan kukuh dalam mewujudkan visi besar dan mulia tersebut. Visi inilah yang menggerakkan dan melahirkan kekuatan bagi mereka baik ketika dalam kondisi prima maupun ketika melemah. Visi memang hampir identik dengan mimpi walupun tak mutlak sama. Tentu bukan mimpi yang menjadi bunga tidur tentunya. Tapi mimpi yang menjadi asa dan harapan untuk diwujudkan atau yang sederhana kita bahasakan dengan impian. Dalam kehidupan, impian inilah yang biasanya menjadikan hidup kita menjadi lebih “hidup”. Hanya saja kita harus tepat dan realistis dalam meletakkannya. Bahkan mujaddid sekaligus mujahid harokah Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: “haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi”. Kenyataan hari ini adalah mimpi/impian kemarin, dan mimpi/impian hari ini adalah kenyataan esok hari.
Kekuatan visi juga harus diimbangi dengan kadar pengetahuan kita akan realita dan kondisi lapangan yang ada. Ketika kita memiliki visi yang besar, sering kita terjebak dalam angan-angan yang terlalu tinggi melangit dan tak membumi. Kalau dalam sikap, lazim kita istilahkan dengan kata perfeksionis atau mengukur sesuatu terlalu sempurna. Terkadang, cara berpikir perfeksionis cenderung membuat kita mengabaikan akan realita yang ada. Tidak salah dengan cara berpikir perfeksionis tapi harus diimbangi dengan kemampuan memahami waqi’iyah (realita) yang ada dan cara berpikir yang cerdas nan solutif guna mengantisipasi manakala ada tujuan yang berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Selama misi (tujuan) kita tetap terbingkai dalam visi besar yang menjadi acuan dalam perjuangan kita, maka hal itu tidaklah menjadi masalah yang terlalu pokok. Ada yang dinamakan ghoyah (tujuan besar/utama) dan ada pula yang disebut ahdaf (tujuan/sasaran yang cenderung bersifat jangka pendek). Ketika kita berbicara ahdaf maka hal tersebut sangat fleksibel dan mungkin bisa saja berubah-ubah menyesuaikan dengan capaian yang ditaqdirkan terjadi pada kita. Tapi masih ada ghoyah yang tetap menaungi ahdaf karena ahdaf inilah yang akan menjadi anak tangga dalam menuju ghoyah. Kita bisa saja tidak tepat dan salah dalam menentukan ahdaf asalkan kita tidak keliru dalam menentukan ghoyah yang menjadi parameter utama kita. Oleh karena itu, kepemahaman kita akan teks secara utuh, pemahaman yang menyeluruh akan konteks/ruang serta keistiqomahan kita dalam series waktu menjadi aspek yang fundamental dalam menyelaraskan dan menjembatani antara apa yang menjadi visi kita dengan capaian/realisasi yang mungkin akan kita dapatkan.
Dalam meraih asa dan cita-cita kita, ada kejernihan mata hati yang mampu menguak tabir gelap perjalanan yang kan kita lalui. Pandangan mata hati kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Itulah visi yang panjang (“ru’yah mustaqbalah”). Akan tetapi, keyakinan dan kejernihan visi tersebut bukan menjadikan kita sebagai seorang “peramal” yang selalu tepat dalam memprediksi ataupun memperkirakan akhir dari segala sesuatu. Sekali lagi kita hanya manusia yang bisa merencanakan. Masalah hasil, tentu kita pasrahkan hanya kepada Alloh semata. Seorang yang visioner hanyalah belajar menjadi peyakin sejati atas kebenaran dari nilai-nilai yang ia yakini yang tentunya semua itu berlandaskan kepada petunjuk yang qoth’i dan syar’i dengan merujuk dan bersumber kepada Al-Qur’an dan As-sunnah. Keyakinannya mendahului pandangan mata zhohirnya sehingga ia bergerak, berbuat, beramal, dan berkontribusi bukan karena paksaan ataupun pernak-pernik kehidupan duniawi yang menyilaukan akan tetapi karena nilai-nilai yang memang ia yakini kebenarannya.
“Kadang ia sulit dilihat, tapi dapat dirasakan. Ibarat sang mentari, terlalu silau untuk dilihat tapi dapat dirasakan kehangatannnya. Persis seperti angin dan udara, sulit tuk digenggam tapi bisa dirasakan kesejukannya. Itulah Asa, itulah Visi, itulah Cita-Cita.. Letak gairah kehidupan kita. Ia hadir melesat jauh sebelum tersusunnya strategi, agenda, dan rencana.. Dengan kekuatan iman, kejernihan hati, kesabaran yang meneguhkan dan luasnya jangkauan pikiran, itulah yang menjadi kunci bagi para peyakin sejati dalam memandang ujung perjalanan ini..”
WalloHua’lam bi ash-showab wa lillaHil ‘Izzah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment